Tuesday, March 3, 2015

pengertian Ilmu Falak

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah

 Menurut bahasa, ‘falak’ berasal dari bahasa arab فلك yang mempunyai arti orbit atau lintasan benda-benda langit (madar al-nujum). Dengan demikian ilmu falak di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang lintasan benda-benda langit, diantaranya bumi, bulan dan matahari. Benda-benda langit tersebut berjalan sesuai orbitnya masing-masing. Dengan orbit tersebut dapat digunakan untuk mengetahui posisi benda-benda langit antara satu dengan yang lainnya.

     Ilmu falak dikalangan umat islam juga dikenal dengan sebutan ilmu hisab, sebab kegiatan yang paling menonjol pada ilmu tersebut adalah melakukan perhitungan-perhitungan. Dalam al-Qur’an kata hisab banyak digunakan untuk menjelaskan hari perhitungan (yaumulhisab) dimana Allah akan memperhitungkan dan menimbang semua amal dan dosa manusia dengan adil. Kata hisab dalam al-Qur’an muncul sebanyak 37 kali yang semuanya berarti perhitungan dan tidak memiliki arti yang bertentangan.(1)
     Di dalam al-Qur’an, perkataan ‘falak’ digunakan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat yaasiin ayat 40 dan al-anbiyaa ayat 33.

“Tidaklah mungkin bagima tahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya ”(QS. Yaasiin : 40)

“Dan  dialah yang Telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya” (QS.al-anbiyaa: 33)

      Penggunaan kata falak dalam ayat tersebut hanya ditujukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan benda langit, (Matahari, Bumi, danBulan). Berangkat dari ayat diatas ilmu falak dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gerak-gerak benda-benda langit. Ilmu falak juga dapat disebut sebagai ilmu astronomi, karena didalamnya membahas tentang bumi dan antariksa (kosmografi). Perhitungan-perhitungan dalam ilmu falak berkaitan dengan benda-benda langit, walaupun hanya sebagian kecil dari benda-benda langit yang menjadi objek perhitungan. Karena secara etimologi, astronomi berarti peraturan bintang “law of the star”.

  Jika diamati secara spesifik memang terdapat perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara astronomi dengan ilmu falak. Dari sisi ruang lingkup bahasanya, astronomi mengkaji seluruh benda-benda langit, baik matahari, planet, satelit, bintang, galaksi, nebula dan lainnya. Sedangkan ilmu falak ruang lingkup pembahasannya hanya terbatas pada matahari, bumi dan bulan. Itupun hanya pada posisinya saja sebagai akibat dari pergerakannya. Hal ini disebabkan karena perintah-perintah ibadah tidak bias lepas dari waktu. Sementara waktu itu sendiri berpedoman pada peredaran benda-benda langit (terutama matahari, bumi, bulan). Dengan demi kian jelas bahwa mempelajari ilmu falak sangatlah penting, sebab untuk kepentingan praktek     ibadah.

B.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.Apa pengertian Pengantar Ilmu Falak?
2.Apa pengertian Ilmu Falak secara etimologi
3.Apa pengertian Ilmu Falak secara terminologi?
4.Apa tujuan mempelajari Ilmu Falak?
5.Apa hukum mempelajari Ilmu Falak?

BAB II
PENGANTAR ILMU FALAK


A. Pengertian Pengantar Ilmu Falak
Sebelum mempelajari Ilmu Falak,  kita lebih dalam mempelajari tentang Pengantar Ilmu Falak yang digunakan sebagai dasar awal.
Secara terminologi, Pengantar berarti suatu fase awal untuk mempelajari lebih dalam mengenai sesuatu hal, dalam hal ini Ilmu Falak. Atau dengan kata lain pada fase ini kita dapat mengetahui gambaran pokok masalah dalam Ilmu Falak.

B. Pengertian Ilmu Falak Secara Etimologi
Secara etimologi, Ilmu berarti pengetahuan, knowledge, scientific atau science. Sedangkan Falak berarti orbit atau lintasan benda-benda langit khususnya Bumi, Bulan dan Matahari.
Zubair Umar Al Jailani dalam kitab Khulashatul Wafiyah mengatakan bahwa yang disebut Falak itu ialah setiap yang berputar. Hans Wher dalam A Dictionary of Modern Written Arabic mengartikan kata Falak dengan bola langit, benda langit, tempat putaran bintang, orbit dari benda-benda langit. Sedangkan Imam Al Jurjani dalam kitab At Ta’rifat mengartikan kata Falak adalah benda yang mempunyai sifat seperti bola yang mengelilingi kepadanya dua atap baik yang nyata maupun yang maya dan kedua atap itu bergandengan sedangkan kedua pusatnya sama.
Jadi Ilmu Falak secara etimologi berarti Ilmu pengetahuan tentang Falak atau tempat putaran bintang atau orbit dari benda-benda langit atau garis edar Matahari dan Bulan.

C. Pengrtian Ilmu Falak Secara Terminologi

Secara terminologi, dapat dikemukakan beberapa definisi Ilmu Falak antara lain :
Farid Wajdi dalam kitab Dairat Al Ma’arif Al Isyirin :Ilmu tentang lintasan benda-benda langit, Matahari, Bulan, Bintang dan planet-planet.
Leksikon Islam : Ilmu perbintangan astronomi pengetahuan mengenai keadaan bintang-bintang di langit.
KBBI :Ilmu pengetahuan mengenai keadaan (peredaran, perhitungan dan sebagainya) bintang-bintang.
Ensiklopedi Islam :suatu Ilmu yang mempelajari benda-benda langit, Matahari, Bulan, Bintang dan planet-planetnya.
EnsiklopediHukumIslam :Ilmupengetahuan yang mempelajaribenda-bendalangit, tentangfisiknya, geraknya, ukurannyadansegalasesuatu yang berhubungandengannya.
Almanak Hisab Rukyat : Ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan-lintasan benda langit seperti Matahari, Bulan, Bintang dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta kedudukannya dari benda-benda langit lainnya.
Drs. P. Simamora dalam bukunya Ilmu Falak (Kosmografi) : pengetahuan tentang langit, pergerakan dan sifat-sifat Matahari, Bulan, Bintang, Planet termasuk Bumi kita ini.
Uum Jumsa dalam bukunya Ilmu Falak : Ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit pada orbitnya, masing-masing untuk diketahui suatu benda langit terhadap benda langit lainnya agara diketahui pengaruhnya terhadap perubahan waktu di muka Bumi kita ini.
Dari berbagaidefinisidiatasdapatdinyatakanbahwaobjek formal IlmuFalakadalahbenda-bendalangitsedangkanobjekmaterialnyaadalahlintasandaribenda-bendalangittersebut.

D. TujuanMempelajariPengantarIlmuFalakdanIlmuFalak
Sebagaimana telah disebutkan diatas, mempelajari Pengantar Ilmu Falak bertujuan sebagai dasar awal pengenalan Ilmu Falak itu sendiri.
Di dunia Islam, materi Ilmu Falak yang ditelaah dan dikaji adalah yang berhubungan dengan ibadah sehingga pada umumnya pembahasannya berkaitan pada 4 bidang.
Pertama, penentuan awal bulan. Adalah menghitung terjadinya ijtima’ yakni posisi Matahari dan Bulan berada dalam satu bujur astronomi serta menghitung posisi Bulan ketika Matahari terbenam pada hari terjadinya ijtima’ itu. Dari perhitungan ini dapat diketahui kapan awal bulan Qamariyah dimulai.
Kedua, penentuan waktu-waktu shalat. Dalam al-Quran dan Hadits secara tekstual banyak menunjukkan waktu shalat dengan fenomena alam saja. Dimana kalau tidak menggunakan Ilmu Falak akan mengalami kesulitan. Sebab hakikatnya, penentuan waktu shalat adalah menghitung tenggang waktu antara ketika Matahari berada pada titik kulminasi atas dengan waktu ketika Matahari berkedudukan di awal waktu shalat.
Ketiga, gerhana. Adalah menghitung waktu terjadinya kontak antara Matahari dan Bulan. Fenomena alam ini dapat dilihat di permukaan Bumi yaitu ketika Bulan menutupi Matahari. Begitu pula sebaliknya ketika terlihat Bulan memasuki bayangan Bumi. Dengan adanya fenomena alam berupa gerhana ini umat Muslim dianjurkan untuk melakukan shalat Kusuf maupun Khusuf.
Keempat, arah kiblat dan arah bayangan kiblat. Yaitu menghitung besaran sudut yang melewati suatu tempat yang dihitung arah kiblatnya dengan lingkaran besar yang melewati tempat yang bersangkutan dan Ka’bah serta menghitung jam berapa posisi Matahari di jalur Ka’bah. Arah kiblat ini bisa ditentukan dari setiap titik atau tempat di permukaan Bumi yang melakukan perhitungan dan pengukuran. Hal ini tentu sangat diperlukan sebab untuk melakukan salah satu syarat sah shalat adalah menghadap kiblat.
E.HUKUM MEMPELAJARI ILMU FALAK
    Begitu besar faidah dalam mempelajari ilmu falak, sehingga apabila dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah ,maka mempelajari ilmu falak hukumnya wajib, seperti yang di ungkapkan oleh  Abdullah bin Husain: “mempelajari ilmu falak wajib, bahkan diperintahkan untuk mempelajarinya, karena ilmu falak itu mencangkup pengetahuan tentang kiblat dan hal-hal yang berhubungan dengan penanggalan, missal puasa, lebih lebih pada masa sekarang ini, karena ketidaktauan para hakim (akan ilmu falak ) sikap mempermudah, serta kecerobohan mereka, sehingga mereka menerima kesaksian (hilal) seseorang yang mestinya tidak dapat di terima”


F. KESIMPULAN

Dengan semua keterangan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa dengan mempelajari pengantar ilmu falak kita dapat memahami pengantar ilmu falak yaitu ilmu yang mempelajari tentang benda-benda langit dan peredarannya guna mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan ibadah, antara lain:
Dalam menentukan awal bulan, untuk menjalankan ibadah seperti; puasa,hari raya,haji, dllMenentukan arah kiblat. Arah kiblat merupakan syarat sahnya sholat, oleh karena itu umat islam memerlukan ilmu falak untuk menentukan arah kiblat
Mencari kapan terjadinya gerhana, dengan terjadinya gerhana umat muslim di sunahkan untuk menjalankan sholat gerhana
Menentukan awal waktu sholat, ini adalah hal yang paling penting untuk menjalankan sholat, karena apabila seorang muslim tidak mengetahui kapan awal masuk waktu sholat itu datang maka akan terjadi kesalahan, oleh karena itu ilmu falak sangat penting dan sangat berguna bagi umat muslim dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT.


DAFTAR PUSTAKA


Arifin, Zainul. 2012. IlmuFalak. Yogyakarta :Lukita.
Mubarok, Hilmi. 2009. RingkasanDasar-DasarIlmuFalak.Tasikmalaya.
Sofyan, Ridwan. 2007. IlmuFalak. Tasikmalaya.
Ahmad Izzudin.2012.Ilmu FalakPraktis. Semarang. PT.PUSTAKA RISKIPUTRA
Ahmad Mussonnif.2011.IlmuFalak. Yogyakarta.Teras



Perkembangan Ilmu Falak



PENDAHULUAN

 1.1 Latar Belakang
Semakin bertambahnya kebutuhan manusia, maka bertambah pula keilmuan dan pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Seperti ilmu yang kami pelajari saat ini, yakni Ilmu Falak. Bagi beberapa kalangan, istilah imu Falak mungkin masih terkesan kuno, lantaran tidak bersinar mentereng sebagaimana ilmu umum lainya.[1]Namun tidak bagi kami, ilmu Falak bagaiamanapun adalah khazanah keilmuwan penting yang harus selalu dilestarikan.
Ilmu Falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu sendiri serta kedudukan dari benda-benda langit lainnya.[2] Dan Ilmu falak merupakan bagian dari ilmu keIslaman karena berhubungan erat dengan keabsahan ibadah yang dilakukan seorang muslim.[3] Hal inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai mahasiswa yang mengkaji dan mendalami ilmu falak untuk menghidupakan kembali ilmu keislaman yang sangat penting ini. Oleh karena itu, makalah ini kami buat kiranya dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan ilmu falak. Namun, lebih khusus kami akan membahas pada masa kejayaan islam.

1.2 Rumusan Masalah
 Untuk mempermudah pemahaman mengenai perkembangan ilmu falak pada masa kejayaan islam, maka kami dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perkembangan ilmu falak pada masa kejayaan islam?
2.      Siapakah tokoh-tokoh ilmu falak pada masa kejayaan islam?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Ilmu Falak Pada Masa Kejayaan Islam

          Pada abad III H, yaitu pada kejayaan Daulah Abbasiyah, perkembangan ilmu falak mengalami kemajuan yang sangat berarti, yang ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya di bidang astronomi ke dalam bahasa Arab. Pada tahun 773 M, ada seorang pengembara India yang menyerahkan sebuah buku data Astronomi yang berjudul Sindhin (sidhanta)kepada kerajaan islam di Bagdad. Kemudian oleh kholifah Abu Ja’far al-Manshur (719-775 M) memerintahkan Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farizi ( 796 M ) untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Arab. Atas usaha inilah al-Fazari dikenal sebagai ahli falak pertama di dunia islam.[4]
          Kegiatan penerjemahan karya-karya astronomi terus berkelanjutan, termasuk karya-karya dari bangsa Yunani, dan sebagian besar karya bangsa Yunani yang sangat mempengaruhi perkembangan ilmu falak di kalangan umat islam adalah the sphere in the movement ( al-kurrah al-Mutaharrikah ), karya Antolycus,Ascentions of the signs ( mathali’ al-Buruj ) karya Aratus, Introduction of Astronomy ( al Madhkhal ila Ilmi Falak ) karya Hipparchus, dan Almagesty karya Ptolomeus.
          Kitab-kitab itu bukan hanya sekedar diterjemahkan akan tetapi di tindak lanjuti lebih dalam lagi dengan berbagai penelitian-penelitian yang baru serta berkelanjutan sehingga memperoleh teori-teori yang baru. Dari sini juga muncul tokoh falak di kalangan umat islam yang cukup berpengaruh, yaitu Abu Ja’far bin Musa al-Khawarizmi (780-847 M) sebagai ketua observatorium al-Makmun, dengan mempelajari karya al-Fazari (sidhanta), dia behasil sebagai orang pertama yang mengolah sistem penomoran india menjadi dasar operasiaonl Ilmu Hisab (perhitungan).
          Disamping penemuan tersebut, dia juga mengelurkan teori-teori yang monumental antara lain: penemuan angka 0 (nol) India, maka terciptalah pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam        perkembangan ilmu Hisab, penyusunan pertama tabel Trigonometri Daftar Logaritma yang masih berkembang sampai sekarang, penemuan kemiringan zodiak ( ekliptika ) sebeasar 23,5 derajat atas ekuator.
          Sehingga pada masa itu al-Khawarizmi menjadi tokoh yang terkenal dan penting sebagai pelopor pengembangan astronomi. Memang pada masa Khalifah al-Makmun, ilmu falak mengalami perkembangan yang sangat pesat , yaitu sejak al-Makmun mendirikan observatorium di Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan meninggalkan teori yang digunakan oleh yunani kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung kulminasi matahari, juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku shindhind yang disebut “Tabel of Makmun” dan oleh orang Eropa dikenal dengan “Astronomos” atau “ Astronomy”.[5]
         
2.2 Tokoh Muslim dalam Perkembangan Ilmu Falak pada Masa Kejayaan Islam

          Berikut ini, kami akan paparkan tokoh-tokoh beserta sumbangsihnya dalam perkembangan ilmu falak pada masa kejayaan islam, sebagaimana yang kami kutib dari referensi ([6]) kami:
a.       Abu Ma’sar al-Falaky (788-885 M) merupakan seorang ahli falak dari Balkh (Khurasan) yang di Eropa dikenal dengan nama Albu Masar. Beliaulah yang menemukan adanya pasang naik dan pasang surut air laut sebagai akibat dari posisi bulan terhadap bumi. Karya-karya beliau antara lain al-Madkhal Kabiir, al-Kabir, Ahkam al-Sinni wa al-Kawakib, Itsbat al-Ulum, dan Haiat al-Falak.
b.       Ibn Jabir al-Battani (858-929 M) yang di dunia barat dikenal dengan nama Albatenius. Beliau melakukan perhitungan jalan bintang, garis edar dan gerhana, membuktikan kemungkinan terjadinya gerhana matahari cincin, menetapkan garis kemiringan perjalanan matahari, panjangnya tahun sideris dan tropis, musim-musim serta lintasan matahari semu dan sebenarnya, adanya bulan mati,serta fungsi sinus, tangen, dan cotangen. Di antara karya-karya al-Battani adalah membuat perbaikan serta tambahan terhadap buku syntasis karya Ptolomeus, dalam judul barunya  Tabril al-Maghesty, di samping bukunya sendiri yang berjudul Tamhid al-Musthafa li Ma’na al-Mamar.
c.       Abu Raihan al-Biruni (388-440 H / 973-1048 M.) berasal dari Paris, ia sangat termashur namanya dalam sejarah pertumbuhan ilmu Falak, sehingga beliau diberi gelar al-Ustadz fi al-‘Ulum (maha guru), karena selain ahli perbintangan, juga menjadi bintang cendekiawan dalam zaman keemasan Islam (Golden Era of Islam) karena juga menguasai berbagai bidang ilmu seperti filsafat, matematika, geografi, dan fisika.  Beliau telah menemukan teori tentang rotasi bumi dan mampu menentukan garis bujur dan garis lintang untuk setiap daerah (kota) di permukaan bumi dengan akurasi yang sangat teliti. Karyanya antara lain “Al-Atsar Baqiyyat min Al-Qurun al-Khaliyat”  yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Cronology of Ancient Nations dan kitab  Al-Qanun al-Mas’udy fi al-Haiat wa al-Nujumi (sebuah ensiklopedi astronomi yang dipersembahkan kepada Sultan Mas’ud Mahmud) yang ditulis pada tahun421 H/1030 M. Menurut Prof. Ahmad Baiquni, al-Biruni adalah orang yang pertama menolak teori Ptolomeus, dan menganggap teori Geosentris tidak masuk akal, karena langit yang begitu besar dan luas dengan bintang-bintangnya dinyatakan mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya. Oleh karena itu, al-Biruni dipandang sebagai peletak dasar teori heliosentris.
d.      Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Katsir al-Farghani seorang ahli falak yang berasal dari Farghana, Transoxania, sebuah kota yang terletak di tepi sungai Sardaria, Uzbekistan. Di kalangan ilmuwan Barat ia dikenal dengan nama Alfarganus. Karya-karya besarnya seperti Jamawi al-ilm al-Nujum wa Harakat al-Samawiyyat, Ushul ‘Ilm al-Nujum, Al-Madkhal ila ‘ilm Haiat al-Falak, dan Fushul al-Tsalatsin, masih tersimpan di Oxford, Paris, Kairo dan perpustakaan Princeton University. Karya-karya tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Yohanes Hispalamsis dari Seville dan Gerard dari Cremona dengan nama “Compendium” yang dipakai pegangan dalam mempelajari ilmu perbintangan oleh Astronom-astronom Barat, seperti Regiomontanus.
e.       Maslamah Abul Qasim al-Majriti, jasa terbesar beliau ialah merubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah  di Andalusia, dengan meletakkan bintang-bintang sesuai awal tahun hijriyah.
f.        Ali bin Yunus dengan karyanya “Zaij al-Kabir al-Hakimi” yang berisi antara lain tentang Astronomis matahari, bulan dan komet.
g.       Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965-1039) seorang pakar falak dari Bashrah, yang terkenal dengan bukunya “Kitab al-Manadhir” dan tahun 1572 M diterjemahkan dengan nama “Optics” yang merupakan temuan baru tentang refraksi (sinar bias).
h.      Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan Nasiruddin at-Tusi  berasal dari Marogho (Asia Kecil), telah membangun observatorium di Maragha atas perintah Raja Hulaghu Khan. Dengan observatoriumnya, ia telah berhasil membuat tabel-tabel data astronomis benda-benda langit dengan nama Jadwal al-Kaniyan serta membuat Astrologi guna menentukan kedudukan tiap-tiap bintang di langit, terutama mengenai lintasan, ukuran dan jarak planet Merkurius, terbit dan terbenam, ukuran dan jarak matahari dan bulan, dan kenaikkan bintang-bintang. Karya-karya beliau antara lain al-Mutawassit baina al-Handasah wa al-Hai’ah (kumpulan karya terjemahan dari Yunani tentang Geometri dan Astronomi), at-Tadzkir fil ilm al-hai’ah dan Zubdah al-Hai’ah (Intisari Astronomi).
i.        Muhammad Turghay Ulughbeik (797-853 H./ 1394-1449 M) lahir di Salatin, Iskandaria, dan pada tahun 823 H./1420 M berhasil membangun  observatorium di Samarkand. Karya dan temuan yang monumental berupa Jadwal Ulughbeik (zij sulthani), yaitu tabel Astronomi tentang matahari dan bulan. Tabel yang berupa data astronomi ini banyak dijadikan rujukan pada perkembangan ilmu hisab selanjutnya, termasuk kitab klasik yang berkembang di Indonesia Sullam al-Nayyirani juga menggunakan tabel dari UlughBeik. Pada tahun 1650 M Jadwal Ulughbeik diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa Perancis.

          Beberapa tokoh yang kami kemukakan di atas telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu falak pada masa kejayaan Islam. Perkembangan ilmu falak di tubuh Islam masih tetap berlanjut hingga kini. Dan sudah mengalami perkembangan sesuai dengan ilmu pengetahuan, Al-Qur’an dan Sunnah.


BAB III
KESIMPULAN

Dari beberapa paparan tersebut, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa perkembangan ilmu falak mengalami kemajuan pada kejayan Daulah Abbasiyah, yang ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya di bidang astronomi ke dalam bahasa Arab. Tokoh falak di kalangan umat islam yang cukup berpengaruh, yaitu Abu Ja’far bin Musa al-Khawarizmi (780-847 M) sebagai ketua observatorium al-Makmun, dengan mempelajari karya al-Fazari (sidhanta), dia behasil sebagai orang pertama yang mengolah sistem penomoran india menjadi dasar operasiaonl Ilmu Hisab (perhitungan).


BAB IV
PENUTUP
 
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari atas kesalahan kami, dan kami harap kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki makalah kami.

  

DAFTAR PUSTAKA

Izzuddin, Ahmad, ilmu falak praktis, (Semarang: Komala Grafika, 2006)
Maimun, Ahmad, ilmu falak teori dan praktik, (Kudus:2011)
Muhyiddin, khazin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004)
Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008).


[2] Ahmad Maimun, ilmu falak teori dan praktik, (Kudus:2011), Hal.Pendahuluan
[3] Ahmad Izzuddin, ilmu falak praktis, (Semarang: Komala Grafika, 2006), Hlm. 4
[4] Muhyiddin, khazin, Ilmu falak dalam teori dan praktik, (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004), Hlm. 23
[6] Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), Hlm. 25-28

Ilmu falak dan penentuan awal waktu sholat

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
            Shalat adalah ibadah yang tidak bisa di tinggalkan, baik dalam keadaan apapun dan tidak ada istilah dispensasi. Shalat merupakan kewajiban bagi seluruh umat muslim dan merupakan perintah langsung dari Allah swt. yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw., ketika melaksanakan misi suci yaitu Isra’ Mi’raj, yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun 12 sesudah kenabian.[1]
            Mengingat shalat begitu pentingnya dalam agama islam, maka ibadah ini tentu harus menjadi perhatian sungguh-sungguh umat islam, termasuk meperhatikan waktu-waktu pelaksanaannya.[2]
            Dalam makalah ini, kami akan memberikan sedikit penjelasan mengenai waktu-waktu shalat.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian shalat dan wakunya?
2.      Dasar waktu shalat dan perincian waktunya.
3.      Bagaimana peran ilmu falak terhadap penentuan awal waktu shalat?




BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Shalat dan Waktunya
            Shalat menurut bahasa (lughat) berarti dari kata shala, yashilu, shalatan, yang mempunyai arti do’a. sebagai mana yang terdapat dalam al-Qur’an surat at-Taubat [9] ayat 103 :
وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم .
            “sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. at-Taubat [9]: 103)
            Sedangkan menurut istilah shalat berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.[3]
Adapun syarat-syarat shalat adalah :
1.      Thaharah
2.      Suci badan, pakaian dan tempat dari pada najis
3.      Menutup aurat
4.      Mengetahui waktu shalat telah tiba
5.      Menghadap qiblat
6.      Mengetahui kefardluan shalat
Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an QS An-Nisa ayat 103, sebagai berikut :
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah di tentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat di atas menerangkan tentang waktu shalat secara Ijmal (global). Para mufassir berbeda pendapat tentang tafsir ayat “Kitaaban Mauquutaa”. Ada dua pendapat :
Pertama, yang mengartikannya sebagai kewaiban saja tanpa ada embel-embel waktu sebagaimana riwayat dari ‘Athiyah Al-‘Aufy, Al-Hasan, Abu Ja’far, Ibnu Abbas (pada salah satu riwayatnya), Ibnu Zaid, As Suddiy dan Mujahid. Sebagaimana dalam hadist yang di riwayatkan oleh Abu As Sa’ib, yang artinya : “ Mengabari aku Abu As Sa’ib, Ia berkata mengabarkan kami Ibnu Fuadhail dari Fuadhail bin Marzuq dari Athiyah Al-‘Aufy, Ia berkata : mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah diwajibkan.”
Kedua, menyatakan “Kitaban Mauquta” bermakna waktu yang ditentukan. Inilah pendapat yang shahih sebagaimana riwayat dari Zaid bin Aslam, Ibnu Abbas (pada salah satu riwayatnya), Mujahid, As Suddiy, Ibnu Qutaibah, dan Qatadah. Artinya : “Mengabari aku Al-Mutsana, Ia berkata mengabarkan kami Ishaq, Ia berkata : mengenai firman Allah “inna As-shalata Kanat ‘ala Al-Mu’minina Kitaban Mauquta”, makna “Kitaban Mauquta” adalah waktu yang ditentukan.”
Dari ayat ini Az-Zamakhsyariy berkomentar bahwa seorang tidak boleh mengakhirkan waktu atau mendahulukan waktu shalat seenaknya baik dalam keadaan aman ataupun takut. Penggunaan lafadz “kaanat” menunjukkan ke-mudawamah-an (kontinuitas) suatu perkara, maksudnya ketetapan waktu shalat sudah pasti sebagaimana dikatakan oleh Al-Husain bin Abu Al-‘Izz Al-Hamadaniy.[4]
B. Dasar Waktu Shalat dan Perincian Waktunya
a.       Dasar Waktu Shalat
            Secara syar’i, shalat yang diwajibkan (shalat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga terdefinisi sebagai ibadah muwaqqot).
            Adapun dasar hukum waktu shalat antara lain :
1.      Surat An-Nisa[4] ayat 103
“ Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah di tentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman.”
Keterangan ayat An-Nisa [4] ayat 103 sama seperti yang telah teruraikan diatas.
2.      Surat Thaha [20] ayat 130
“Dan berasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit Matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.”
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti ayat  “ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy Syamsi Wa Qabla Ghurubiha” dan “Athraf An Nahar”. Ada yang mengartikannya shalat subuh, ashar, maghrib, dan isya’, bahkan ada yang mengartikannya shalat lima waktu. Ibnu Juraij berkata yang di maksud ayat ini adalah shalat Ashar sedangkan maksud “Athraf An Nahar”  adalah shalat lima waktu. Redaksi riwayat tersebut adalah sebagai berikut : “Mengabarkan kami Al Qasim, Ia berkata : mengabarkan kami Al Husain, Ia berkata : mengabarkan kami Hujaj : mengenai ayat “ Wa Sabbih bi Hamdi Rabbika Qabla Thulu’I Asy Syamsi Wa Qabla Ghurubiha”. Berkata Ibnu Juraij : maksudnya ialah shalat ashar sedangkan “Athraf An Nahar” maknanya adalah shalat lima waktu.[5]

3.      Surat Al-Isra’ [17] ayat 78
“Dirikanlah shalat dari sesudah Matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

4.      Surat Hud [11] ayat 114
“Dan dirikanlah sembahyang it pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan padabagian permulaan daripada malam.”
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “Tharafay An Nahar” dan “ Zulfan minal Lail”. Namun ulama telah sepakat bahwa salah sau shalat yang di maksud ayat “Tharafay An Nahar”  tersebut adalah Shalat Al-Ghadat (hanya ada satu kemungkinan yakni shalat subuh, inilah pendapat yang disepakati oleh jumhur ulama), sedangkan shalat yang kedua Shalat Al-Ghadat yang di maksud bisa shalat Ashar, Dhuhur, Subuh atau Maghrib, ini pulalah yang di simpulkan Ar Razaiy dalam Mafatih A-Ghaib-nya.[6]

5.      Hadits riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
“Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata: telah datang kepada Nabi saw. Jibril a.s. lalu berkata kepadanya: bangunlah! Lalu bersembahyanglah, kemudian Nabi saw. shalat dhuhur di kala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar lalu berkata: bangunlah lalu bersembahyanglah! Kemudian Nabi shalat ashar di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya.  Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib lalu berkata : bangunlah! Lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat maghrib di kala matahari terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu isya’ lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat isya’ di kala mega merah telah terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangunlah dan shalatlah! Kemudian Nabi shalat fajar di kala fajar menyingsing, atau ia berkata : di waktu fajar bersinar. Kemudian ia datang pula esok harinya pada waktu dhuhur, kemudian berkata kepadanay : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi saw. shalat dhuhur di kala bayang-bayang sesuatu sama dengannya. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu ashar dan berkata : bangunlah lalu shalatlah! Kemudian Nabi shalat ashar di kala bayang-bayang matahari dua kali sesuatu itu. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu maghrib dalam waktu yang sama, tidak bergeser pada waktu yang sudah. Kemudian datang lagi kepadanya di waktu isya’ di kala telah lalu separo malam, atau ia berkata : telah hilang sepertiga malam, kemudian Nabi shalat isya’. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya benar dan ia berkata : bangunlah lalu shalatlah, kemudian Nabi shalat fajar. Kemudian Jibril berkata : saat dua waktu itu adalah waktu shalat. (HR. Imam Ahmad dan Nasa’I dan Tirmidzi).[7]

b.      Perincian Waktu Shalat
1)      Waktu Dhuhur
Di sebut juga waktu istiwa (zawaal) terjadi ketika matahari berada di titik tertinggi. Istiwa juga dikenal dengan sebutan tengah hari (midday/noon). Pada saat istiwa, mulai tergelincirnya matahari sampai saat bayang-bayang benda sama panjang dengan bendanya, yakni ketika matahari telah condong kearah barat. firman Allah SWT, “..dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra’ [17]:8).

2)      Waktu Ashar
Menurut mazhab Syafi’I, Maliki, dan Hambali, waktu ashar diawali jika panjang baying-bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Mazhab Imam Hanafi mendefinisikan waktu ashar jika panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Dan ulama fikih sepakat berakhirnya waktu shalat ini beberapa saat menjelang terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “siapa yang mendapatkan satu raka’at shalat ashar (beberapa saat) menjelang terbenamnya matahari, berarti telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, dan Al-Baihaqi).[8]

3)      Waktu Maghrib
Waktu maghrib dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma’(kesepakatan) para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga hilangnya Syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:
Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Waku maghrib sampai hilangnya syafaq(mega merah)”. (HR Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi’iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam.” (HR Tirmidzi). Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.[9]
4)      Waktu Isya’
Di awali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit barat, hingga terbitnya fajar shaddiq di langit timur. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “…Apabila warna merah di ufuk barat telah hilang maka wajib shakat isya’…” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr).
Dan yang menjadi alasan berakhirnya waktu shalat isya’, sabda Rasulullah saw: “orang yang tertidur tidak di anggap sebagai orang yang lalai karena yang di anggap orang yang lalai ialah orang yang tidak mengerjakan shalat pada waktunya sampai masuk waktu shalat lain.”(HR. At-Tirmidzi, An-Nasa’I, Ahmad, Ath-Thayalisi, Ad-Dairami, dan Ath-Thabrani).
Oleh karena itu, kesepakatan ulama fikih bahwasanya waktu berakhirnya shalat isya’ dengan masuknya waktu shalat subuh.
5)      Waktu Shubuh
Waktu subuh di awali saat fajar shaddiq sapai matahari terbit(syuruq).
Secara astronomis subuh dimulai saat kedudukan matahari sebesar 180 di bawah horizon timur atau disebut dengan “astronomical twilight” sampai sebelum piringan atas matahari menyentuh horizon yang terlihat (ufuk hakiki/visible horizon).
C. Peran Ilmu Falak Terhadap Penentuan Awal Waktu Shalat
            Secara sederhana ilmu falak bisa di definisikan sebagai ilmu yang mempelajari peredaran benda-benda langit (matahari, bumi, dan bulan) untuk keperluan pelaksanaan ibadah bagi umat muslim. Sebagai salah satu contoh dalam pelaksanaan penentuan waktu shalat, pada dasarnya adalah menentukan posisi matahari pada waktu yang telah di tentukan (Al-Qur’an dan Hadits) pada tempat tertentu.[10]
            Penentuan waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut disesuaikan dengan keadaan alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.
            Hal-hal yang berkaitan dengan masalah ibadah dimana Ilmu Falak sebagai bagian penting, dapat dirinci sebagai berikut : penentuan awal waktu shalat, arah kiblat awal bulan hijriyah, dan gerhana.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Shalat berarti sutu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, dengan syarat-syarat tertentu.
Ada 5 dasar waktu shalat, yaitu :
                               I.            Surat An-Nisa[4] ayat 103
                            II.            Surat Thaha [20] ayat 130
                         III.            Surat Al-Isra’ [17] ayat 78
                         IV.            Surat Hud [11] ayat 114
                            V.            Hadits riwayat Jabir bin Abdullah r.a.
Dan perincian waktu shalat sebagaimana yang telah di paparkan diatas.
Penentuan waktu shalat pada dasarnya adalah menghitung tentang waktu ketika matahari berada di titik kulminasi atas dan waktu ketika matahari berkedudukan pada prediksi pancer pada awal waktu-waktu shalat. Prediksi pancer tersebut disesuaikan dengan keadaan alam yang berpatokan pada al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw yang menjelaskan tentang tanda-tanda awal waktu shalat.




[1] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.103.
[2] Ahmad Maimun, Ilmu Falak Teori dan Praktik, (Kudus), hal.36.
[3] Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.77.
[4] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.107-109
[5] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.113.
[6] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.120.
[7] Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag., Ilmu Falak Praktis, (Semarang : PT Rizki Putra, 2012), hlm.82
[8] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten : PT Aufa Media, 2013), hlm.83-85.

[9] Slamet Hambali, Ilmu Falak  jilid 1, ( Semarang : Progam Pasca Sarjana IAIN Walisongo2011),  hlm.132.
[10] Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag., dan Imam Saifullah, M.Pd.I, Studi Ilmu Falak, (Banten : PT Aufa Media, 2013), hlm.77.